“Wuaaaa!” Stella menjerit ketakutan. Matanya terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Tangannya memegang meja belajar erat-erat. “Ma...maaa! Ha..hantuuu!”
Kulihat wajah Stella yang semakin pucat. Meskipun dalam hati aku tertawa melihat wajah Stella yang lucu, aku tetap harus mempertahankan tampang seramku. Aku pun memelototkan mata sambil menjulurkan lidah.
“Weee!” seruku. Lagi-lagi, Stella menjerit kaget.
Aksiku berhasil. Aku menandak-nandak sambil menunjukkan gerakan seolah-olah aku akan memakan Stella. Tiba-tiba... Gubrak!!!
“Hahaha....” Stella tertawa. “Hantu, kamu lucu sekali! Hampir saja aku mati ketakutan. Ternyata, kamu hanyalah hantu yang lucu! Udah ah, aku mau belajar lagi!”
Ups! Lagi-lagi, ini terjadi! Aku berusaha memelototkan mata lagi. Lalu, kujulurkan lidah. Aku menggerakkan tanganku, bersiap untuk menangkap Stella. Tetapi, hal itu hanya membuat tawa Stella berderai makin panjang. Ugh, aku kesal!
Aku terpaksa pergi sambil mengusap dahiku yang memar terkena pojokan meja belajar Stella. Sakit rasanya! Ah, tetapi, masih lebih sakit hatiku daripada sakit di dahiku ini. Aku gagal menakut-nakuti Stella.
“Sudahlah. Besok kita coba lagi,” hibur Lolita, hantu cantik yang menjadi sahabatku.
“Tetapi, ini sudah kelima kalinya!” gerutuku kesal. “Setiap kali melompat, tali-tali celanaku selalu menjerat kakiku dan membuatku terjatuh. Lalu, anak-anak itu menertawakanku. Mereka tidak takut lagi padaku! Stella bahkan menyebutku sebagai hantu yang lucu!”
Aku memonyongkan bibir, sedih. Air mataku mulai menggenang. “Aku gagal menjalankan tugas sebagai hantu. Aku tidak bisa lagi menakuti anak-anak,” isakku.
Aku menghitung dengan jari. Ya, ini sudah kelima kalinya aku gagal. Kami, para hantu, bertugas untuk menakuti anak-anak. Aku selalu bersemangat menjalankan tugas itu. Biasanya, sih, aku akan memelototkan mata dan menjulurkan lidah. Kalau mereka ketakutan, aku semakin bersemangat. Aku akan menandak-nandak, berpura-pura untuk menerkam mereka.
Awalnya, anak-anak itu ketakutan. Mereka menjerit-jerit panik dan memanggil ibu atau ayah mereka. Tetapi, begitu mulai melompat, aku selalu terjerat tali-tali celanaku. Aku pun jatuh. Lalu, anak-anak menertawakanku. Ketakutan mereka langsung lenyap. Bahkan, ada anak yang gantian meledekku atau menakuti-nakuti aku.
Mungkin, memang pantas kalau teman-teman mengejek aku dengan sebutan hantu tali celana. Mereka tak pernah tahu, sih, kalau aku sedih sekali!
“Hei! Melamun saja!” seru Lolita sambil menepuk pundakku. “Masih sedih dengan kegagalanmu, ya?”
Aku mengangguk. Ya, aku sedih, sedih sekali! Bahkan, Lolita sebagai sahabat terbaikku pun tak mampu menghilangkan kesedihanku.
“Lain waktu, kamu ikat saja tali-tali celanamu erat-erat, supaya tidak menjeratmu. Masih ada kesempatan untuk melakukan tugas dengan baik,” hibur Lolita.
Aku hanya diam mendengar kata-kata Lolita. Aku tetap sedih. Rasanya, aku tak punya semangat lagi untuk menakuti anak-anak. Aku takut kalau nanti hanya gagal lagi. Lima kali gagal sudah terlalu banyak.
“Atau, bagaimana kalau kamu mengganti model celanamu saja. Kamu cari yang enggak pakai tali?” usul Lolita.
“Tidak bisa. Aku merasa paling nyaman memakai celana dengan model seperti ini. Lagipula, celana ini, kan, ciri khasku. Kalau aku memakai celana yang lain, tidak unik lagi,” jelasku.
Kami sama-sama diam. “Sudah, tidak usah memikirkan banyak cara lagi! Aku sudah putus asa!” tukasku.
Lolita terkejut mendengarnya. “Jangan putus asa! Ssst, aku punya rahasia besar!” bisiknya.
Aku menoleh. Kutatap Lolita. Wah, rahasia apa, ya? Kenapa mata Lolita sampai berbinar-binar begitu? Ah, aku tak sabar mendengar Lolita menceritakan rahasianya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar